Krisis Air Bersih di NTT: Perjalanan 15 Kilometer untuk Setetes Kehidupan

Di balik pemandangan savana yang memesona di Nusa Tenggara Timur, tersembunyi kisah pilu warga yang harus berjuang mati-matian demi air bersih. Setiap hari sebelum fajar menyingsing, puluhan ibu-ibu di Desa Oe Ekam sudah berbaris membawa jerigen kosong. Mereka harus menempuh perjalanan sejauh 15 kilometer melalui jalan berbatu hanya untuk mendapatkan air yang seringkali keruh dan tidak layak konsumsi. "Kadang kami dapat air cuma cukup untuk minum, mandi harus menunggu hujan," keluh Maria Loda, seorang ibu tiga anak yang kakinya sudah dipenuhi luka akibat perjalanan ini.

Situasi ini bukan hanya terjadi di satu desa. Data Dinas Kesehatan NTT tahun 2023 menunjukkan lebih dari 70% wilayah provinsi ini mengalami kesulitan air bersih selama musim kemarau. Anak-anak terpaksa bolos sekolah untuk membantu orang tua mengangkut air, sementara warga harus mengeluarkan Rp100.000 per hari hanya untuk membeli air bersih - jumlah yang sangat besar bagi masyarakat dengan penghasilan rata-rata Rp15.000 per hari. Yang lebih memprihatinkan, 60% sumber air yang digunakan warga ternyata terkontaminasi bakteri E.coli, menyebabkan lonjakan kasus diare hingga 40% selama musim kemarau.

Akarnya masalah ini kompleks. NTT yang hanya mendapat curah hujan 1.200 mm per tahun (separuh rata-rata nasional) semakin menderita karena kerusakan daerah tangkapan air. Sekitar 30% hutan lindung telah beralih fungsi menjadi lahan pertanian dan permukiman. Program bantuan pemerintah seperti sumur bor dan pipa desa seringkali tidak menyelesaikan masalah. "Sumur bor yang dibangun tahun lalu sekarang airnya asin, tidak bisa diminum," cerita Yosep Taolin, kepala desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Namun, ada secercah harapan. Di Pulau Rote, teknologi penyulingan air laut bertenaga surya yang dikembangkan LIPI mulai menunjukkan hasil. Satu unit alat seharga Rp25 juta ini mampu menyediakan air bersih untuk 20 keluarga. Beberapa desa juga mulai menggalakkan penanaman pohon aren yang tahan kekeringan dan mampu menyimpan air. "Kami butuh lebih banyak inovasi seperti ini, bukan sekadar proyek fisik tapi pendekatan berbasis kearifan lokal," tegas Dr. Yosephina Oematan, ahli hidrologi Universitas Nusa Cendana.

Krisis air di NTT adalah masalah kita bersama. Setiap tetes air yang terbuang percuma di kota besar, adalah tetes emas yang diperjuangkan dengan keringat dan air mata saudara-saudara kita di timur Indonesia. Sudah saatnya kita peduli, karena air adalah hak dasar setiap manusia, bukan sekadar komoditas.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banjir Berkepanjangan di Laba Lubu Kec. Malangke Luwu Utara Sulawesi Selatan

Tren "Kesenjangan Sosial" dengan Dialog Absurd Viral di TikTok, Satir Realita atau Sekadar Hiburan?

Safari Ramadhan Pondok Pesantren As'adiyah Belawa Baru: Menebar Kebersamaan di Bulan Suci Ramadhan