"Desa di Bali Larang Turis Naik Motor: Solusi atau Diskriminasi?"

 

Pemerintah desa di beberapa wilayah Bali seperti Canggu, Uluwatu, dan Nusa Penida mulai memberlakukan aturan kontroversial: larangan penyewaan sepeda motor bagi wisatawan asing. Kebijakan ini muncul setelah maraknya keluhan warga setempat tentang perilaku turis yang dianggap meresahkan. Data Kepolisian Daerah Bali menunjukkan bahwa 60% kecelakaan lalu lintas tahun 2023 melibatkan wisatawan asing, dengan faktor utama ketidakpahaman terhadap tata cara berkendara di Bali dan kurangnya kesadaran akan budaya lokal.

Bendesa Adat Canggu, I Wayan Sutama, menjelaskan bahwa masalahnya bukan sekadar soal keselamatan lalu lintas. "Mereka sering parkir sembarangan di area upacara, mengenakan pakaian tidak pantas saat berkendara, dan mengganggu ketenangan desa dengan suara knalpot bising," ujarnya. Aturan ini pun diperkuat dengan sanksi denda hingga Rp5 juta bagi yang melanggar. Sebagai alternatif, pemerintah desa menyediakan penyewaan sepeda listrik dan bekerja sama dengan penyedia transportasi online untuk menyediakan layanan carpooling.

Namun, kebijakan ini menuai pro dan kontra. Banyak wisatawan mengeluh tentang terbatasnya pilihan transportasi umum di Bali. "Ojek online harganya tiga kali lipat lebih mahal dibanding sewa motor. Ini memberatkan budget backpacker," protes Luca, turis asal Italia. Di sisi lain, para ekspatriat yang sudah lama menetap di Bali justru mendukung aturan ini. "Saya sering melihat turis ugal-ugalan di jalan tanpa mempedulikan upacara atau warga sekitar," kata Sarah dari Amerika Serikat.

Pakar pariwisata dari Universitas Udayana, Dr. Putu Wijaya, menyarankan solusi yang lebih seimbang. "Alih-alih pelarangan total, sebaiknya diterapkan sistem sertifikasi bagi penyewa motor, di mana turis harus mengikuti briefing singkat tentang etika berkendara di Bali terlebih dahulu," paparnya. Enam bulan setelah aturan ini diterapkan, data menunjukkan penurunan 40% angka kecelakaan di Canggu, meski di sisi lain pendapatan rental motor merosot hingga 60%.

Perdebatan ini mencerminkan tantangan besar dalam pengelolaan pariwisata Bali: bagaimana menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi, keselamatan publik, dan pelestarian budaya. Sementara pemerintah desa bersikukuh pada aturan ini sebagai bentuk kedaulatan wilayah adat, pelaku bisnis pariwisata terus mendorong dialog untuk menemukan solusi yang lebih inklusif. Yang jelas, kasus ini menjadi pelajaran berharga bagi semua pihak tentang pentingnya pariwisata yang bertanggung jawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Banjir Berkepanjangan di Laba Lubu Kec. Malangke Luwu Utara Sulawesi Selatan

Tren "Kesenjangan Sosial" dengan Dialog Absurd Viral di TikTok, Satir Realita atau Sekadar Hiburan?

Safari Ramadhan Pondok Pesantren As'adiyah Belawa Baru: Menebar Kebersamaan di Bulan Suci Ramadhan